Senin, 24 Oktober 2011

induksi

                                 Induksi
Oleh: Ahmad Nashiruddin, Chomaidi Jakta, Esmiyati, Siti Maesaroh
dan Wiwin Nur Indah Sari[1]

PENDAHULUAN   
Logika membantu manusia berfikir luas, efisien tepat dan teratur untuk mendapatkan kebenaran dan menghindari kekeliruan. Dalam segala aktifitas berfikir dan bertindak, manusia mendasarkan diri atas prinsip ini. Hasil yang di harapkan dari logika adalah agar kita cakap berpikir sendiri dan bersikap logis serta kritis. Sikap kritis tidaklah berarti suka membantah dan mengkritik serta suka menentang dan menantang melainkan berpikir dulu, mengidentifikasi duduk perkaranya, menyelidiki dulu dan tidak begitu saja menerima suatu pendapat atau penjelasan-penjelasan yang seakan-akan sudah pasti benar[2].
            Maka dari itu, cara berfikir secara logis dan kritis sangat dibutuhkan di Negara kita agar tidak terjadi kesalahfahaman dalam mengklaim sebuah kejadian yang hanya berdasarkan pada sebuah keputusan tanpa adanya penyelidikan dan pembenaran lebih lanjut. Dalam kesempatan kali ini kami akan mencoba membahas sebuah teori dalam bernalar yaitu teori induksi dengan memadukannya terhadap realitas fenomena bencana yang ada di Negara kita.  

PEMBAHASAN
A.    Definisi metode induktif
Sebenarnya ada dua cara berpikir yang dapat kita gunakan untuk mendapatkan pengetahuan baru yang benar, yaitu melalui metode induksi dan metode deduksi. Dan dalam kesempatan kali ini kita akan lebih memfokuskan pembahasan tentang model penalaran induksi dikarenakan metode deduksi telah dibahas sebelumnya dalam persoalan silogisme.
Kata induksi berasal dari bahasa Latin “Inducere”. Sedangkan dalam terminologi ilmiah, induksi didefinisikan sebagai suatu cara penganalisaan ilmiah yang bergerak dari hal-hal yang bersifat khusus (individual) menuju kepada hal yang bersifat umum (universal).
Jadi, cara induksi dimulai dari penelitian terhadap kenyataan-kenyataan khusus satu demi satu kemudian diadakan generalisasi dan abstraksi lalu diakhiri dengan kesimpulan umum.[3]
Sementara itu dalam pengertian yang lebih singkat, induksi didefinisikan dan diartikan sebagai penalaran dari contoh-contoh particular ke kesimpulan umum.[4]
Dan dalam pengertian yang lain induksi ialah cara berfikir untuk menarik kesimpulan yang bersifat umum dari kasus-kasus yang bersifat individual. Penalaran ini dimulai dari kenyataan-kenyataan yang bersifat khusus dan terbatas diakhiri dengan pernyataan yang bersifat umum. Seperti:
“Besi dipanaskan memuai, Seng dipanaskan memuai, Emas dipanaskan memuai, Timah dipanaskan memuai, Platina dipanaskan  memuai, Jadi: semua logam jika dipanaskan memuai’’.
Cara penalaran ini mempunyai dua keuntungan. Pertama : kita dapat berpikir secara ekonomis. Meskipun eksperimen kita terbatas pada beberapa kasus individual, kita bisa mendapatkan pengetahuan yang lebih umum tidak sekedar kasus yang menjadi dasar pemikiran kita. Untuk mendapatkan pengetahuan bahwa : semua logam memuai bila dipanaskan, kita tidak usah melakukan penyelidikan terhadap setiap logam, tetapi cukup sebagian daripadanya. Kedua, pernyataaan yang dihasilkan melalui cara berpikir induksi tadi memungkinkan proses penalaran selanjutnya, baik secara induktif maupun secara deduktif. Secara induktif kita dapat menyimpulkan pernyataan tadi kepada pernyataan yang lebih umum lagi. Melanjutkan contoh tadi dari pernyataan «semua logam jika dipanaskan memuai », dapat ditarik kesimpulan bahwa semua benda memuai jika dipanaskan.
Seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwasanya antara penalaran induksi dan deduksi mempunyai hubungan sangat erat. Mula-mula orang menggunakan penalaran induktif untuk mendapatkan pernyataan yang bersifat umum. Pernyataan umum ini menjadi dasar pemikiran deduksi. Dengan deduksi kita dapat mengetahui pengetahuan baru yang dicakup oleh pernyataan induktifnya.
Pengetahuan yang benar dapat menggunakan dua metode ini secara cermat dan kritis. Pengembangan pengetahuan semata-mata menggantungkan penalaran induksi akan sangat lambat dan boros. Sebaliknya deduksi meminta jasa induksi dalam menggunakan dasar pemikirannya.[5]
Logika induksi juga sering disebut sebagai logika material, yaitu berusaha menemukan prinsip penalaran yang bergantung kesesuaiannya dengan kenyataan, oleh karena itu kesimpulannya hanyalah keboleh_jadian, dalam arti selama kesimpulannya itu tidak ada bukti yang menyangkalnya maka kesimpulan itu benar, dan tidak dapat dikatakan pasti.
Logika induktif tidak memberikan kepastian namun sekedar tingkat peluang bahwa untuk premis-premis tertentu dapat ditarik suatu kesimpulan, dan kesimpulannya mungkin benar mungkin juga salah. Misal : jika selama bulan November dalam beberapa tahun yang lalu banjir selalu terjadi maka tidak dapat dipastikan bahwa selama bulan November tahun ini juga akan terjadi banjir, kesimpulan yang dapat ditarik dalam hal ini hanyalah pengetahuan mengenai tingkat peluang untuk  banjir dalam tahun ini juga akan terjadi.
Penalaran induktif dalam bidang ilmiah yang bertitik tolak pada sejumlah hal khusus untuk sampai pada suatu rumusan umum sebagai hukum ilmiah, maka secara berurutan sebagai proses penalaran dapatlah disusun sebagai berikut :
1). Observasi dan eksperimen. Langkah awal dalam logika ini ialah mengumpulkan fakta-fakta khusus. Metode khusus yang digunakan adalah observasi (pengamatan) dan eksperimen. Observasi harus dikerjakan seteliti mungkin, sementara eksperimentasi terjadi untuk membuat atau mengganti objek atau hal-hal yang harus dipelajari.
2). Hipotesis ilmiah. Hipotesis ialah suatu dalil sementara yang diajukan berdasarkan pengetahuan yang terkumpul sebagai petunjuk bagi penelitian lebih lanjut. Sementara hipotesis ilmiah yang dimaksudkan ialah dalil sementara atas dasar observasi dan penggolongan yang didukung oleh pengetahuan ilmiah. Dan syaratnya: a) hipotesis harus dapat diuji kebenarannya dengan cara membandingkan dengan fakta yang diamati, b) harus terbuka dan dapat meramalkan bagi pengembangan konsekuensinya, c) harus runtut dengan dalil-dalil atau prinsip-prinsip yang sudah dianggap benar, d) harus dapat menjelaskan fakta-fakta yang dipersoalkan.
3). Verifikasi dan pengukuhan. Menverifikasi ialah membuktikan bahwa hipotesis ini adalah dalil yang sebenarnya.
4). Teori dan hukum ilmiah. Hasil terakhir yang diharapkan dalam induksi ilmiah ialah untuk sampai pada hukum ilmiah. Suatu hipotesis dapat dipandang sebagai yang paling awal atau paling rendah di dalam urut-urutan derajatnya, bila bahan-bahan bukti yang dibutuhkan telah terkumpul, maka hipotesis itu kemudian dapat memperoleh derajat sebuah teori, dan bila teori itu saling berhubungan secara sistematis dan dapat menerangkan setiap peristiwa yang diajukannya hanya sebagai contoh, maka teori itu dapat dipandang sebagai hukum ilmiah (Herbert L. Searles, 1956). [6]
Lalu, proses penalaran induktif dapat kita laksanakan melalui beberapa taknik, meliputi : generalisasi, analogi, hubungan kausal, hipotesis dan teori.
i.        Generalisasi ialah proses penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena individual menuju kesimpulan umum yang mengikat seluruh fenomena sejenis dengan fenomena individual yang diselidiki. Oleh karena itu hukum yang dihasilkan oleh penalaran ini, juga semua bentuk penalaran induktif tidak pernah sampai pada kebenaran pasti, tetapi kebenaran kemungkinan besar (probability). Dan generalisasi sendiri dibagi menjadi dua macam yaitu : A) generalisasi sempurna atau generalisasi yang mana seluruh fenomena yang menjadi dasar penyimpulan diselidiki. Misal : setelah kita memperhatikan semua jumlah hari pada setiap bulan tahun masehi kemudian disimpulkan bahwa : semua bulan masehi mempunyai hari tidak lebih dari 31. Dalam penyimpulan ini, keseluruhan fenomena yaitu jumlah hari pada setiap bulan kita selidiki tanpa ada yang kita tinggalkan. B) generalisasi tidak sempurna atau generalisasi yang berdasarkan sebagian fenomena untuk mendapatkan kesimpulan yang berlaku bagi fenomena sejenis yang belum diselidiki. Dan biasanya teknik ini banyak digunakan untuk menyusun ilmu-ilmu pengetahuan, baik itu ilmu-ilmu kealaman, maupun ilmu-ilmu sosial, dikarenakan sifatnya yang lebih praktis dan ekonomis dibandingkan generalisasi sempurna. Contoh : Darwin menggunakan teknik ini untuk menyimpulkan bahwa ‘semua kucing putih yang bermata biru adalah tuli’.
Lalu untuk menguji apakah generalisasi yang dihasilkan cukup kuat, dapat digunakan evaluasi berikut :
a.       apakah sampel yang digunakan secara kuantitatif cukup mewakili. Contoh: untuk menentukan kadar kejernihan air sebuah sungai cukup satu gelas bahkan bisa kebih sedidkit dari itu.
b.      Apakah sampel yang digunakan cukup bervariasi. Contoh: untuk menentukan apakah akan terjadi banjir atau tidak, maka harus diteliti dari berbagai persoalan curah hujan yang tinggi, penggundulan hutan, sungai yang kotor, gorong-gorong yang tersumbat dan lain sebagainya.
c.       Apakah dalam generalisasi itu diperhitungkan hal-hal yang menyimpang dengan fenomena umum atau tidak.
d.      Apakah fenomena yang dirumuskan konsisten dengan fenomena individual.
Tapi bagaimanapun juga ada kecenderungan umum, untuk membuat generalisasi berdasarkan fenomena yang sangat sedikit sehingga tidak mencukupi syarat untuk dibuat generalisasi. Adapun dalam kehidupan sehari-hari kekeliruan ini seringkali terjadi. Misal : desa ini adalah desa gempa, penyimpulan ini semata-mata didasarkan pada apa yang dialaminya seketika itu. Maka generalisasi ini merupakan generalisasi yang salah.
        i.            Analogi yaitu proses penalaran dari satu fenomena menuju fenomena lain yang sejenis kemudian disimpulkan bahwa apa yang terjadi pada fenomena yang pertama  akan terjadi juga pada fenomena yang lain. Dengan demikian dalam setiap tindakan penyimpulan analogik terdapat tiga unsure, yaitu: peristiwa pokok yang menjadi dasar analogi, persamaan principal yang menjadi pengikat, dan fenomena yang hendak kita analogikan. Contoh: jika hujan turun (peristiwa) dan berkeyakinan bahwa hujan itu akan mengakibatkan air sungai meluap (fenomena yang dianalogikan), karena hujan yang dulu turun didaerah yang sama (persamaan prinsip) membuat air sungai meluap.
Dan analogi sendiri itu ada yang disebut analogi induktif dan analogi deklaratif (penjelas). Seperti yang telah dijelaskan diatas, analogi itu disebut analogi induktif. Sedangkan analogi deklaratif itu merupakan metode untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu yang belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal. Contoh : tsunami memporak porandakan semua yang ada disekitarnya, sebagaimana adek merusak mainannya.
Lalu keterpercayaan analogi dapat diukur melalui:
a.       Sedikit banyaknya peristiwa sejenis yang dianalogikan. Semakin besar peristiwa sejenis yang dianalogikan, maka akan semakin besar pula taraf keterpercayaannya.
b.      Sedikit banyaknya aspek-aspek yang menjadi dasar analogi.
c.       Sifat dari analogi yang kita buat.
d.      Mempertimbangkan ada tidaknya unsur-unsur yang berbeda pada peristiwa yang dianalogikan. Semakin banyak pertimbangan atas unsur-unsurnya yang berbeda maka akan semakin kuat keterpercayaan analoginya.
e.       Relevan dan tidaknya masalah yang dianalogikan. Bila tidak relevan, sudah barang tentu analoginya tidak kuat dan bahkan bisa gagal.
Namun meskipun analogi merupakan corak penalaran yang popular, hal itu tidak menjamin semua penalaran analogi merupakan penalaran induktif yang benar. Ada masalah yang tidak memenuhi syarat atau tidak dapat diterima, meskipun sekilas sulit bagi kita untuk menunjukkan kekeliruannya. Kekeliruan ini terjadi karena membuat persamaan yang tidak tepat. Dan kekeliruan ini terjadi juga pada analogi induktif dan analogi deklaratif, yang mana kekeliruan ini disebut analogi yang pincang.
      ii.            Hubungan Kausalitas. Keyakinan manusia akan hukum kausalitas sudah ada sejak zaman kuno. Bahwa tidak ada satupun peristiwa terjadi secara kebetulan, melainkan semuanya mempunyai sebab yang mendahuluinya. Bagi yang berkeyakinan bahwa sebab itu banyak dilihat dari segi individualnya, bukan akibat yang ditimbulkan. Kedua pandangan itu baik yang berkeyakinan sebab itu satu ataupun sebab itu banyak pada hakikatnya tidak berbeda, kecuali karena penggunaan istilah.
            Sebab yang banyak (secara individual) dapat mengakibatkan akibat yang sama (satu) dan sebab yang satu (secara individual) dapat menjadikan akibat yang banyak. Kebakaran dapat mengakibatkan bermacam-macam akibat seperti: Kemiskinan, pengangguran, kehilangan harta benda, kematian dan sebagainya.
            Apapun pendapat kita tentang ‘sebab’ pada pembicaraan ini kita khususkan ada sebab yang menjadikan (sufficient causa), yaitu ada dan tidaknya sebab ini akan menentukan ada dan tidaknya akibat. Induksi yang mendasarkan kepada aksioma sebab bila dirumuskan berbunyi:
a.       Tidak ada sesuatu itu disebut sebab bagi suatu akibat bila ia tidak dijumpai pada saat akibat terjadi.
b.      Tidak ada sesuatu itu disebut sebab bagi suatu akibat bila ia dijumpai pada saat akibat tidak terjadi.
Adapun dua aksioma kausalitas diatas merupakan dasar bagi John Stuart Mill  (1806-1873) seorang filosof Inggris  untuk merumuskan empat metode induksi yang kemudian terkenal dengan sebutan Metode penyimpulan Induktif Mill. Empat metode tersebut adalah:
a)      Metode Persetujuan
Maksud metode ini adalah: “Apabila ada dua macam peristiwa atau lebih pada gejala yang diselidiki dan masing-masing peristiwa itu mempunyai factor yang sama, maka factor itu merupkan satu-satunya sebab bagi gejala-gejala yang diselidiki”. 
Taruhlah misalnya dalam suatu kota,  tiba-tiba seluruh daerahnya terkena bencana banjir. Separuh dari masyarakatnya diwawancarai untuk menemukan sebab dari musibah itu. Mereka ditanya tentang apa yang menyebabkan hal itu terjadi. Masyarakat daerah pertama menyatakan curah hujan yang tinggi, sungai-sungai kotor karena banyaknya sampah, gorong-gorong tersumbat, penggundulan hutan. Masyarakat daerah kedua menyatakan curah hujan tinggi, sungai-sungai kotor karena banyaknya sampah, gorong-gorong tersumbat. Masyarakat daerah ketiga sungai-sungai kotor karena banyaknya sampah, gorong-gorong tersumbat, dan penggundulan hutan. Masyarakat keempat curah hujan tinggi, gorong-gorong tersumbat, penggundulan hutan. Bila masing-masing peristiwa yang dipilih masyarakat ini kita tulis dengan hurf A, B, C, dan D maka hasil wawancara ini akan lebih jelas bila ditampilkan sebagai berikut:  
Peristiwa
Faktor dalam peristiwa
Bencana
1
A, B, C, D,
Banjir
2
A, B, C, -,
Banjir
3
-,B,C,D,
Banjir
4
A, -, C , D,
Banjir
Di sini terlihat bencana yang diselidiki adalah banjir, peristiwanya dari beberapa penyebab sedangkan jumlah penyebabnya empat.
Dari data tersebut maka akan tersimpulkan bahwa C penyebab banjir, jadi kemungkinan besar terjadinya banjir itu disebabkan oleh factor yang ada pada setiap penyebab yaitu gorong-gorong yang tersumbat.
b)     Metode perbedaan
Maksud metode ini adalah:”Jika sebuah peristiwa mengandung gejala yang diselidiki dan sebuah peristiwa lain yang tidak mengandungnya, namun faktornya sama kecuali satu, dan yang satu itu terdapat pada peristiwa pertama maka factor satu-satunya itu yang menyebabkan peristiwanya berbeda itu adalah factor yang tidak bisa dilepaskan dari sebab terjadinya gejala”.
Contoh untuk metode ini dapat kita kemukakan tentang fenomena banjir yang terjadi pada sebuah kota yang telah kita sebut. Pada penyelidikan lebih lanjut ternyata masyarakat yang gorong-gorongnya tidak tersumbat tidak terkena banjir. Bila daerah yang tidak terkena banjir kita beri kode n dengan table singkat dapat kita tampilkan sebagai berikut:
Peristiwa
Keadaan Peristiwa
Bencana
1
A, B, C, D,
Banjir
2
A, B, -, , D
Tidak banjir
Dari data tersebut dapat kita simpulkan bahwa C adalah sebab bagi timbulnya banjir. Dengan begitu dapat kita katakan bahwa kemungkinan besar gorong-gorong yang tersumbat itulah yang menyebabkan banjir. Kita tidak boleh mengatakan bahwa gorong-gorong yang tersumbat adalah sebab satu-satunya bagi terjadinya banjir, tetapi lebih tepat bila kita katakan merupakan sebab yang tidak bisa dipisahkan dari terjadinya banjir.  
c)      Metode Persamaan Variasi
Maksud metode ini adalah: “Apabila suatu gejala yang dengan sesuatu cara berubah ketika gejala lain berubah dengan cara tertentu, maka gejala itu adalah sebab atau akibat dari gejala lain, atau berhubungan secara sebab akibat”.  
Metode ini digunakan dalam kehidupan sehari-hari secara luas. Seorang petani dapat mengetahui dengan mudah hubungan kausalitas antara kesuburan tanah dengan hasil panenan. Semakin tinggi derajat kesuburan tanah semakin bagus hasil panenan dan demikian sebaliknya. 
Metode persamaan variasi sangat penting dalam penyelidikan induktif yang bersifat kuantitatif, mendahului penyelidikan yang bersifat kualitatif. Gunanya adalah sebagai peramal dalam mengukur dan menduga, meskipun secara kasar, atas perilaku yang mempunyai fenomena yang bervariasi.  
d)     Metode Sisasisihan
Maksud metode ini adalah: “Jika ada peristiwa daam keadaan tertentu dan keadaan ini merupakan akibat dari factor yang mendahuluinya, maka sisa akibat yang terdapat pada peristiwa itu pasti disebabkan oleh factor yang lain”.
Contoh yang termasyhur dalam hal ini adalah penemuan planet Neptunus, pada tahun 1846. Penemuan ini sebagai akibat perhitungan terhadap orbit planet Uranus.
“Perhitungan terhadap orbit Uranus ini didasarkan atas akibat yang telah diketahui dan akibat ini berasal dari sebab yang dimiliki oleh planet-planet yang sudah diketahui. Tetapi tenyata ditemui perbedaan antara orbit yang diperhitungkan dengan orbit yang disaksikan melalui teleskop. Timbul pendapat bahwa tentu ada planet lain yang menjadi sebab bagi sisa akibat itu. Berdasarkan dugaan itu maka, Adams dari Cambridge dan Leverrier dari Perancis bekrja sama menetapkan posisi planet lain yang menyebabkan gangguan terhadap orbit Uranus. Pada tanggal 23 Septembert 1846 Dr. Gill dari Royal Academy of Berlon mengarahkan teleskop ke arah posisi planet pengganggu yang telah diperhitungkan dan dalam tempo setengah jam saja ditemukan planet baru yaitu planet Neptunus”.
Kemudian orang yang datang sesudah Mill menambakan satu metode lagi yaitu:
e)      Metode Gabungan Persetujuan dan Perbedaan
Seperti namanya, metode ini merupaan variasi dari metode Persetujuan dan metode Perbedaan. Maksud metode ini adalah : ’’Jika ada sekumpulan peristiwa dalam gejala tertentu hanya memiliki sebuah faktor yang bersamaan, sedangkan dalam beberapa peristiwa dimana gejala itu tidak terjadi, dijumpai faktor-faktor lainnya yang juga dijumpai pada saat gejala itu terjadi kecuali sebuah faktor yang bersamaan, maka faktor ini merupakan faktor yang mempunyai hubungan kausal dengan gejala itu’’.
Contoh penerapan metode ini adalah apa yang diungkapkan Eijkman : Eijkman memberi makan pada sekelompok ayam dengan beras yang betul-betul putih. Ternyata ayam iu kesemuanya terserang polineuritis (radan saraf) dan sebagian besar mati. Ia memberi makan kepada sekelompok ayam yang lain dengan beras yang masih bercampur dedak. Ternyata tidak satupun ayam-ayam ini sakit. Kemudian ia mengumpulkan ayam yang terkena radang syaraf dengan ayam yang sehat ini dan diberi makan beras yang bercampur dedak. Ayam-ayam yang sakit itu kemudian sembuh.
            Sedangkan kekeliruan yang sering terjadi dikalangan orang-orang yang kurang cermat berfikir adalah Post hoc propter hoc artinya suatu penalaran yang menyatakan bahwa ini terjadi sesudah itu terjadi maka, ini merupakan akibat dari itu. Dengan kata lain, suat kekeliruan karena mengakui sesuatu yang terjadi berurutan maka peristiwa yang kedua merupakan akibat dari peristiwa pertama atau yang mendahuluinya. Kita telah mengetahui bahwa untuk membuktikan hubungan sebab-akibat suatu peristiwa tentu tidak sekedar menyimpulkan bahwa peristiwa kedua merupakan akibat dari peristiwa pertama. Contoh kasar dari cara penalaran ini adalah:
Sesudah terjadi gempa, muncullah tsunami. Jadi, tsunami muncul karena terjadi gempa.  
Jelas, kekeliruan ini terjadi karena melihat peristiwa yang ada secara sepintas. Untuk menentukan bahwa suatu peristiwa itu merupakan sebab bagi peristiwa lainnya tidaklah sekedar menunjuk bahwa peristiwa pertama adalah sebab dari perisiwa kedua. Kita harus dapat menjelaskan secara cermat bahwa kedua peristiwa itu memang mempunyai hubungan yang pasti (necessary connection). Apabila peristiwa kedua itu tidak mempunyai hubungan relevan dan pasti dengan peristiwa pertama, maka bertentangan dengan hukum-hukum yang telah kita ketahui.[7]
Dan teknik selanjutnya dalam logika induksi ialah persoalan hipotesis dan teori, namun persoalan ini secara garis besar telah kami jelaskan dipembahasan sebelumnya.

B.     Fenomena Bencana
Secara etimologis, bencana adalah gangguan, godaan, tipuan atau sesuatu yang menyebabkan dan menimbulkan kerusakan, kerugian, penderitaan, malapetaka, kecelakaan dan marabahaya. Kata bencana selalu identik dengan sesuatu dan situasi negatif yang dalam bahasa Inggris sepadan dengan kata disater. Disaster berasal dari Bahasa Yunani, disatro, dis berarti jelek dan astro yang berarti peristiwa jatuhnya bintang-bintang ke bumi.
Pengertian bencana atau disaster menurt Wikipedia: disaster is the impact of a natural or man-made hazards that negatively effects society or environment (bencana adalah pengaruh alam atau ancaman yang dibuat manusia yang berdampak negatif terhadap masyarakat dan lingkungan). Dalam Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dikenal pengertian dan beberapa istilah terkait dengan bencana, diantaranya:
  1. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
  2. Bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor.
  3. Bencana nonalam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa nonalam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit.
4.      Bencana sosial adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antarkomunitas masyarakat, dan teror.[8]

C.    Analisis Kasus Fenomena Bencana Yang Terjadi Di Indonesia
Akhir-akhir ini Indonesia sering disebut sebagai negri 1001 bencana. Hal ini di dasarkan oleh berbagai bencana yang datang silih berganti menimpa negri ini, seperti tsunami di Aceh pada (26-Desember-2004), gempa Jogja pada (27 Mei 2006), lumpur lapindo meledak (22 November 2006), bencana gempa Bengkulu (12 September 2007), bencana situ gintung (27 Maret 2009), bencana gempa Tasikmalaya   (2 September 2009), gempa Padang (30 September 2009), banjir bandang Wasior (4 Oktober 2010), tsunami Mentawai (25 Oktober 2010), gunung merapi meletus (28 Oktober 2010) dan lain sebagainya.
Fenomena ini apabila dianalisis dengan metode induksi, tidaklah  tepat jika Indonesia dijuluki sebagai negri 1001 bencana, karena dalam penalaran induksi harus dilihat dulu berbagai macam prasyarat meliputi: observasi_eksperimen, pengajuan hipotesis, verifikasi_pengukuhan, lalu  yang terakhir adalah teori dan hukum ilmiah. Selain itu metode induksi ini sendiri dapat dilakukan melalui beberapa teknik, diantaranya; generalisasi, analogi, hukum kausalitas dan lain sebagainnya.
Adapun penjelasan dari masing-masing istilah diatas telah diterangkan sebelumnya. Lalu fenomena bencana ini sendiri apabila kita menggunakan teknik generalisasi, dengan mengambil kasimpulan bahwa Indonesia ini merupakan negri 1001 bencana harus dilihat dulu apakah sampel yang digunakan secara kuantitatif cukup mewakili, apakah sampel yang digunakan cukup bervariasi, apakah dalam generalisasi itu diperhitungkan hal-hal yang menyimpang dengan fenomena umum atau tidak, dan apakah fenomena yang dirumuskan konsisten dengan fenomena individual atau tidak. Jikalau memang kesimpulan itu telah mencakup prasyarat generalisasi ini maka kesimpulan ini dapat diterima meski kebenarannya bukan merupakan kebenaran mutlak, yaitu merupakan kebenaran kemungkina terbesar.
Namun kebanyakan kita sering menemukan banyak kekeliruan dalam penggunaan generalisasi, karena kebanyakan minoritas mengklaim segala sesuatu tanpa menggunakan prasyarat yang telah ditetapkan, tapi mereka mendasarkan pada sebuah realita yang datang secara sepintas dengan begitu mereka menyimpulkan bahwa sebuah kejadian yang telah ada sebelumnya sebagai ketetapan kejadian berikutnya. Contoh: Desa ini adalah daerah banjir, karena pernah terjadi banjir beberapa kali sehingga, minoritas dengan mudah mengklaim Desa tersebut sebagai Desa banjir, padahal banjir tersebut belum tentu terjadi pada setiap waktu/setiap tahunnya maka, pengklaiman ini mereka dasarkan pada kejadian yang pernah ada tanpa mendasarkan pada prasyarat yang telah ditentukan.
  
KESIMPULAN
Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak akan terlepas dari berbagai macam fenomena yang dapat ditinjau dari berbagai aspek lebih khususnya fenomena  alam yang sering  terjadi disekitar kita namun, terkadang terjadi banyak kesalahan dalam pengklaiman yang telah dilakukan oleh para minoritas. Maka dari itu, sebenarnya kita sangat membutuhkan dengan yang namanya logika karena dengan kita mempelajari logika kita juga dapat berfikir secara logis yang mana pengimplikasiannya dapat kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat dipastikan dalam pengklaiman suatu kejadian tidak hanya berdasarkan suatu kejadian saja namun, dapat juga dilakukan penyelidikan dan lain sebagainya, yang didalam logika juga terdapat berbagai macam teori yang dapat digunakan sebagai landasan berfikir sehingga, dapat menghasilkan sebuah keputusan/teori yang dapat berlanjut menjadi hukum ilmiah dan dipastikan kebenarannya serta, dapat mendasarkan tindakan-tindakan kita atas pertimbangan yang masuk akal.

DAFTAR PUSTAKA
http://nisroha.blog.friendster.com/2008/10/metode-ilmiah/ (Diakses pada tanggal 08 Juni 2010).
T. Gallagher, Kenneth, diterjemahkan oleh Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisus, 1994.
Mundiri, Logika, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Tim dosen filsafat ilmu fakultas filsafat UGM, filsafat ilmu, Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, cet : IV, 2007.
Kang Anwar, pengertian dan istilah-istilah bencana alam, dalam: http: //kangnawar.com/bencana/pengertian-dan-istilah-istilah-bencana-alam. (Diakses pada tanggal 26 Desember 2010).


[1] Penulis adalah mahasiswa Sekolah  Tinggi Agama Islam Mathali’ul Falah Purworejo-Margoyoso-Pati.
[3] http://nisroha.blog.friendster.com/2008/10/metode-ilmiah/ diakses (08-06-2010).

[4] Kenneth T. Gallagher, diterjemahkan oleh Hardono Hadi, Epistemologi Filsafat Pengetahuan, (Yogyakarta: Kanisus, 1994,) hlm. 135.
[5] Mundiri, Logika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 13-14
[6] Tim dosen filsafat ilmu fakultas filsafat UGM, filsafat ilmu, (Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, cet : IV, 2007), hlm. 116-118
[7] Mundiri, Logika, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001),  hlm. 145-184.
[8] Kang Anwar, pengertian dan istilah-istilah bencana alam, dalam: http: //kangnawar.com/bencana/pengertian-dan-istilah-istilah-bencana-alam. diakses pada (26 Desember 2010).

Jumat, 21 Oktober 2011

KONSEP PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH


KONSEP PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH


KONSEP PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF MUHAMMAD ABDUH
MAKALAH
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Pendidikan Islam
Yang Dibina Oleh Bapak DR. Abdul Karim, M.PdI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MATHALI'UL FALAH
2011

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang semata-mata karena limpahan rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menjalankan aktivitas dan rutinitas sehari-hari dengan penuh kesabaran. Dan dengan limpahan rahmat-Nya pula kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.
Makalah ini kami buat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Pendidikan Islam yang membahas tentang Konsep Pendidikan Dalam Perspektif Muhammad Abduh. Kami ucapkan banyak terima kasih kepada Bapak Siswanto, M.PdI. selaku dosen pembimbing mata kuliah tersebut.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, maka kritik dan saran kami terima dengan senang hati, demi kesempurnaan makalah ini. Pepatah mengatakan “Tiada Gading Yang Tak Retak”.
Akhirnya prakata dari kami (penyusun) :
“Mari kita adobsi hasil-hasil pemikiran modern, tapi ingat kita selalu dituntut oleh perkembangan zaman yang mengharuskan kita untuk berfikir lebih maju”.
Pamekasan, 12 April 2009
Penyusun
MOHAMMAD LUKMAN


BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Muhammad abduh adalah tokoh muslim yang sangat da kenal oleh pelajar /mahasiswa islam. Beliau di kenal dengan sosok seorang pemikir yang professional terutama dalam dunia pendidikan.
Konsep pendidikan Muhammad Abduh ialah konsep pendidikan yang lebih di latar belakangi faktor situasi sosial ke agamaan dan situasi pendidikan islam yang sedang mengalami kemunduran baik di bidang ilmu pengetahuan dan bidang ke agamaan.
Konsep pendidikan sampai dewasa ini nampaknya belum menghasilkan suatu perumusan yang mantap. Hal ini benar, dan kenyataan tersebut disebabkan bukan saja oleh kompleksnya masalah pendidikan, melainkan juga karena dunia pendidikan juga dituntut terus untuk memberikan jawaban baru yang relevan terhadap perubahan sosial yang bergerak begitu cepat. Untuk lebih memahami tentang konsep pendidikan Muhammad Abduh di bawah ini akan di urai dalam pembahasan tersebut.
_______________________________________________________
BAB II
PEMBAHASAN
Pembahasan konsep pendidikan sampai dewasa ini nampaknya belum menghasilkan suatu perumusan yang mantap. Hal ini benar, dan kenyataan tersebut disebabkan bukan saja oleh kompleksnya masalah pendidikan, melainkan juga karena dunia pendidikan juga dituntut terus untuk memberikan jawaban baru yang relevan terhadap perubahan sosial yang bergerak begitu cepat.
Sementara apresiasi pemikiran Islam, setidak-tidaknya sampai saat ini ternyata masih banyak ditandai oleh dikotomi pemikiran antara warna Barat dan Timur Tengah. Kondisi ini, kemudian menjadi potensi pemicu ‘perseteruan’ yang hebat di kalangan pemikir Islam. Hal semacam itu sesungguhnya menjadi sah-sah saja, bila itu dijadikan sebagai wahana dinamisasi pemikiran Islam. Tetapi menjadi terlalu naif bila ternyata yang nampak adalah proses pengkafiran satu sama lain.
Perseteruan semacam ini sangatlah merugikan, sebab sikap tersebut mempertentangkan secara dikotomik terhadap tradisi dan modernisasi. Semata-mata mengandalkan pada adekuasi tradisi, akan menjadikan umat Islam terperangkap pada sikap tradisionalisme, yang akan mengisolasi umat Islam dari proses dinamika zaman. Lebih dari itu, sikap yang demikian akan menjadikan Islam kehilangan elan vitalnya dalam berdialektika dengan perkembangan eksternal. Sebaliknya, sikap berlebihan dalam menerima modernisasi akan mengakibatkan umat Islam tercerabut dari akar tradisinya.
Misalnya, membagi pengetahuan ke dalam pengetahuan yang filosofis-intelektual dan pengetahuan yang diturunkan. Walaupun pembagian ini tidak lantas harus dipahami sebagai fragmentasi atau keterpecahan pengetahuan, akan tetapi dalam kenyataannya, pembagian tersebut telah menciptakan polarisasi pemikiran ke dalam dua arus pemikiran besar (mainstream) yang saling kontradiktif, yakni agamis dan sekular.
Dalam perkembangannya, pendidikan Islam telah melahirkan dua pola pemikiran yang kontradiktif. Keduanya mengambil bentuk yang berbeda, baik pada aspek materi, sistem pendekatan, atau dalam bentuk kelembagaan sekalipun, sebagai akumulasi dari respon sejarah pemikiran manusia dari masa ke masa terhadap adanya kebutuhan akan pendidikan. Dua model bentuk yang dimaksud adalah pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dan pendidikan Islam yang bercorak modernis. Pendidikan Islam yang bercorak tradisionalis dalam perkembangannya lebih menekankan pada aspek doktriner normatif yang cenderung eksklusif-literalis, apologetis. Sementara pendidikan Islam modernis, lama-kelamaan ditengarai mulai kehilangan ruh-ruh mendasarnya.
Tentu saja semua faktor kelemahan tradisi ilmiah di kalangan Muslim tidak tampil secara merata pada semua periode pemikiran dan kelompok ilmuwan. Namun, pada umumnya bebannya masih sangat terasa dewasa ini. Jika ini terjadi, secara teoretis, pendidikan Islam tidak akan pernah mampu memberikan jawaban terhadap tuntutan liberasi, dan humanisasi.
Berangkat dari persoalan tersebut di atas, M. Abduh mengkaji lebih jauh pemikiran tentang pendidikan Islam yang mewakili kelompok modernis-rasionalis. Atau dengan kata lain, kajian tentang pemikiran pendidikan Islam M. Abduh berada pada wilayah historisitas-empiris yang responsif terhadap adanya perubahan. Dengan demikian, rekonseptualisasi atau bahkan dekonstruksi harus dilakukan terhadap warisan pendidikan Islam yang ada. Di samping juga melakukan upaya-upaya pembaharuan dengan tujuan optimalisasi fungsi pendidikan Islam dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan mendepan.
konsep pendidikan Muhammad Abduh, yaitu munculnya konsep pendidikan lebih dilatarbelakangi faktor situasi sosial keagamaan dan situasi pendidikan Islam yang sedang mengalami kemunduran, baik di bidang ilmu pengetahuan dan di bidang keagamaan.
Di samping itu perlunya mempelajari ilmu-ilmu agama di samping ilmu-ilmu yang datang dari Barat dalam lembaga pendidikan formal. Adapun yang lain adalah menekankan tumbuhnya pribadi yang ideal, yang memiliki ilmu pengetahuan yang seimbang antara ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu yang bersifat umum (datang dari Barat).
_____________________________________________________
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Konsep pendidikan Muhammad Abduh ditelaah dari faktor-faktor pendidikan menunjukkan adanya relevansinya dengan Sistem Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, terutama pada tujuan pendidikan Nasional, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa serta membentuk peserta didik yang memiliki iman dan takwa serta masih ada yang relevan pada bab yang lain yang dijabarkan pada pasal-pasal di dalam undang-undang tersebut.
Berangkat dari persoalan tersebut di atas, M. Abduh mengkaji lebih jauh pemikiran tentang pendidikan Islam yang mewakili kelompok modernis-rasionalis. Atau dengan kata lain, kajian tentang pemikiran pendidikan Islam M. Abduh berada pada wilayah historisitas-empiris yang responsif terhadap adanya perubahan. Dengan demikian, rekonseptualisasi atau bahkan dekonstruksi harus dilakukan terhadap warisan pendidikan Islam yang ada. Di samping juga melakukan upaya-upaya pembaharuan dengan tujuan optimalisasi fungsi pendidikan Islam dalam menghadapi berbagai perubahan dan tantangan mendepan.
_____________________________________________________________
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam (Jakarta : Rahagrafondo Persada, 2001).
http://digilib.umg.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jipptumg--azirotussa-39
http://www.msi_uii.net/baca.asp?katagori=rubrik&menu=TPI&baca=artikel&id=73